Dari Nol ke Sastra Arab : Sebuah Kisah Perjalanan


Ketika aku memutuskan untuk memilih prodi Sastra Arab, aku merasa tertarik namun juga pastinya ada rasa keraguan yang menyelinap di hatiku. Bagaimana tidak, aku yang berlatar belakang sekolah negeri harus mulai bertemu dengan bahasa yang menurutku bukanlah bahasa yang mudah. Hari demi hari aku menunggu pengumuman SNBT dengan penuh cemas. Harapku aku bisa lolos lewat jalur ini, tapi di sisi lain aku mengkhawatirkan akan pilihan prodi yang kuambil. Ah entahlah, bagaimana bisa dahulu aku dengan begitu yakin memilih untuk memasukkan jurusan Sastra Arab dalam pilihan SNBT ku. Bahkan mungkin sampai sekarang aku belum menemukan jawaban pasti mengenai alasan mengapa aku memilih prodi ini.

Hingga akhirnya hari pengumuman itu pun tiba. Pukul 4 sore aku mulai membuka laptopku dan aku sudah pasrah tentunya dengan apapun hasil yang akan kuperoleh. Satu persatu aku mulai menginput nama, nomor pendaftaran, dan sebagainya. Hanya tinggal satu kali klik dan kemudian akan muncul hasilnya, aku berhenti sejenak menghela napas panjang. Berbagai kemungkinan terus memenuhi benakku. Jika aku diterima bagaimana ya? begitu pula sebaliknya, lantas jika aku tidak diterima, apa rencana selanjutnya yang harus kuambil?. Pikiran pikiran itu terus membuatku kebingungan hingga akhirnya ibuku bertanya kepadaku apakah aku sudah membuka pengumuman tersebut atau belum, dengan nada lemas aku menjawab bahwa aku belum membuka pengumuman tersebut karena takut. Padahal, apa coba yang harus kutakutkan dari sekadar pengumuman semacam itu? Toh aku juga sudah berusaha semaksimal mungkin untuk meraihnya, urusan hasilnya akan gagal ataupun tidak itu sudah ada yang mengatur. Dengan semua kebimbanganku, akhirnya dengan penuh kasih sayang dan perhatiannya, ibuku meyakinkanku untuk segera membuka pengumuman tersebut dan akhirnya akupun menekan tombol terakhir tersebut. Duarrr… aku sontak terkejut dengan apa yang muncul di layar laptopku sore itu. Ya, aku ternyata diterima pada pilihanku yang kedua yaitu Sastra Arab Universitas Sebelas Maret. Aku pun lantas mengucap syukur dan tentunya dengan haru yang mengiringi.

Belajar bahasa Arab dari nol, memahami berbagai kompleksitasnya tentu membuat adrenalinku semakin terpacu. Hingga aku mulai terpikirkan bagaimana aku harus melewati jalanan panjang yang bahkan belum pernah ku ketahui bagaimana medannya dan apa saja tantangan yang akan kutemui. Beberapa hari kemudian, aku mencari tahu tentang seluk beluk prodi Sastra Arab ini dan mulai menemukan setitik cahaya harapan.

Menghitung hari menuju masa orientasi, satu demi satu aku mengenal teman-temanku. Aku bertemu dengan cukup banyak teman baru dari berbagai latar belakang pendidikan yang berbeda, tapi pastinya didominasi oleh anak pondok maupun dari Madrasah Aliyah. Tetapi aku bersyukur karena aku bertemu dengan beberapa teman yang memiliki latar belakang sama sepertiku. Dari sinilah aku merasa bahwa aku tidak sendiri, aku mempunyai teman seperjuangan yang sama denganku.

Memasuki hari pertama kuliah aku sudah dibuat bingung dengan berbagai mata kuliah yang bahkan sama sekali asing dan belum pernah terdengar di telingaku, seperti Nahwu, Sharaf, Insya’, Qawaidul Imla’, Muthalaah, TOAFL, dan sebagainya. Terus terang aku tidak tau akan apa yang nantinya kupelajari dari matkul matkul itu. Apalagi ketika pembelajaran di kelas dan dosenku mengajar dengan menggunakan bahasa Arab. Aku bahkan seperti anak TK yang sedang berusaha memahami apa yang ia baca. Terus menerus aku bertanya pada teman di sampingku mengenai apa yang disampaikan oleh dosenku karena aku sama sekali tidak bisa memahaminya. Ketika aku mulai membaca materi yang diberikan dan dalam bentuk arab gundul, untuk membacanya saja aku hanya bisa menebak-nebak apalagi memahami artinya. Aku yang biasanya tidak pernah menulis arab, mulai hari itu hampir setiap hari aku harus menulisnya. Padahal seingatku terakhir aku menulis menggunakan bahasa Arab adalah sewaktu aku SMP. Sudah cukup lama bukan? Dibawah ini adalah foto saat aku pertama kali mengikuti ospek prodi bersama teman temanku seangkatan.



Di SMA, sehari-hari aku mempelajari hal-hal yang bersinggungan dengan Matematika, Biologi, Fisika, Kimia, dll namun mulai detik tersebut semuanya berubah 180 derajat. Aku mulai mempelajari keterampilan menulis, mendengarkan, berbicara, dan memahami struktur kebahasaan yang ada dalam bahasa Arab. Saat ada tugas aku selalu bertanya pada temanku yang kuanggap paham dan meminta tolong kepadanya untuk menjelaskan maksud dari tugas tersebut. Bisa kusebut ia adalah tentorku semasa itu. Aku terus berusaha memahami setiap materinya dengan dibimbing oleh tentorku tersebut.

Hingga pada saat waktu UTS mendekat, aku berinisiatif untuk mengajak temanku yang lain belajar bersama. Disinilah aku mulai menemukan kelompok belajar yang beranggotakan 5 orang, dimana 3 orang sebagai mahasiwa pemula yang belajar bahasa Arab dari nol dan 2 lainnya sebagai tentor yang mengajar. Senang sekali rasanya bisa menemukan kelompok belajar ini. Dari yang awalnya aku tidak paham materi dan mata kuliah di prodi Sastra Arab, perlahan dengan kelompok belajar ini sedikit demi sedikit aku mulai memiliki gambaran terkait prodi yang kuambil.

Lalu diantara semua hal yang kulalui tersebut, apa tantangan terbesar dalam kuliahku di Sastra Arab? jawabannya adalah rasa ‘minder’ alias tidak percaya diri. Melihat mayoritas temanku yang sudah mengenal bahasa Arab jauh lebih dulu daripada aku, membuatku merasa tidak percaya diri, aku bahkan pernah merasa bahwa aku adalah mahasiswa yang paling bodoh diantara mereka. Konyol bukan? bahkan sempat terbesit beberapa kali di benakku untuk pindah dari prodi Sastra Arab dan mengikuti SNBT lagi tahun depan. Namun pada akhirnya aku menyadari bahwa semua orang pasti berproses, teman-temanku yang lain pun pasti juga pernah mengalami fase fase seperti yang kurasakan, sebelum pada akhirnya mereka bisa mahir. Tetapi bedanya mereka memulai prosesnya jauh lebih dahulu daripada aku, jadi untuk apa aku mengkhawatirkannya? alangkah lebih baik jika aku fokus pada apa yang ingin kucapai bukan? dari pernyataan inilah aku mulai menemukan semangat untuk memperjuangkan apa yang selama ini sudah kupilih. Aku bertekad untuk tidak akan mengecewakan orang orang disekitarku yang selama ini terus memberikan supportnya untukku, terutama orang tuaku. Sekian secuil kisahku berkuliah di Sastra Arab yang baru setengah perjalanan kulalui, doakan aku selalu istiqomah dan bisa menyelesaikannya hingga akhir ya kawan!

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis Tayangan Wawancara Presiden Prabowo dengan 7 Jurnalis

Lolos FK Tanpa Bimbel Mahal: Strategi Mandiri Tembus SNBT